Takdir Nahkoda di Ujung Samurai


Dibawah guguran daun-daun dermaga loji VOC, seorang prajurit mengintip maut menarik tiga puluh jangkarnya dalam senja paling indah yang pernah dia lihat, sambil berbisik "nikmatilah, ini terakhir", selepas fajar Van Langen membentangkan permadani bahan peledak sepanjang koridor sempit sungai Batanghari, dan diatas abu istana Kesultanan Jambi, istri prajurit berbisik "sandiwara ini belum selesai"

Kejadian 1918 dua puluh tahun silam, masih terekam dalam memori Masnah, yang menyaksikan suaminya gugur secara heroik dalam pertempuran sungai yang bersejarah. Dia menceritakan kepada anak semata wayangnya Indonezilla, dengan rasa patriotis dan kesan emosional yang besar, agar suatu hari kelak anaknya menjadi legenda seperti bapaknya.

Indonezilla, kelahiran Desa Olak Kemang tepian Batanghari yang bertubuh tegap, mendapatkan keterangan medis memenuhi syarat untuk masuk perusahaan perkapalan di Singapura, ketika masih magang teknisi berumur 20 tahun pada tahun 1938. Kemudian dia ditugaskan ke Sumatera, bekerja pada suatu galangan kering di Plaju, dekat Palembang. Tetapi dia kembali lagi ke Singapura pada bulan Desember 1941, ketika Inggris sedang perang melawan Jerman. Hari berikutnya dia memasuki Angkatan Laut melalui kantor rekrutmen di Singapura, dengan bersumpah sudah berumur 27 tahun, padahal baru 23 tahun.

Pada bulan yang sama Jepang menyerang Pearl Harbor, Hongkong, Filipina dan Hindia Belanda dan mulai menyusuri jazirah Malaya menuju benteng pertahanan yang "tak tertembus" Singapura. Bahkan ketika masih sebagai kepala kamar mesin yang sangat muda, dia tahu Singapura bakal jatuh. Demikian pula dengan seluruh garnisun Inggris yang mencakup ribuan prajurit yang dijuluki sebagai diggers (penggali) yang beberapa minggu kemudian dievakuasi ke Afrika Utara.

Singapura Jatuh pada 4 Februari 1942. Sungguh memalukan, Singapura dengan 130.000 prajuritnya harus menyerah. Padahal, pasukan garnisun Inggris melebihi jumlah itu sampai berlipat ganda ketimbang Jepang. Dua hari sebelumnya, Indonezilla diperintahkan membawa kapal - D-class Motor Launch 101 - untuk meledakkan pabrik penyulingan minyak Plaju. Setelah itu bersama anggota marinir dia bergerak menyusuri sungai ke arah muara.

Tiba-tiba dia mendapat firasat, dia harus mengarahkan kapalnya ketepi sungai, dan kapal yang panjangnya 40 meter itu masuk sedalam mungkin ke hutan bakau. Beberapa menit kemudian, sebuah kapal fregat Jepang dan beberapa kapal yang lebih kecil - semuanya bermuatan prajurit bersenjata - menuju hulu dengan kecepatan penuh. Begitu mereka lewat, dinamit yang dipasang di Plaju pun meledak.

Keluar dari hutan bakau sesudah malam turun, Indonezilla meneruskan perjalanan ke muara. Mulut muara telah diblokade kapal-kapal patroli Jepang, tetapi Indonezilla berhasil menyuruk melewati mereka dengan kecepatan penuh, dan marinirnya melepaskan tembakan sampai lolos dengan kecepatan 32 knot ke balik kegelapan. Mereka mencapai Batavia.

Di Batavia orang-orang Belanda bedebah itu menyita kapal mereka dan memerintahkan mereka untuk bergabung, menuju bukit-bukit untuk mempertahankan kota Bandung. Sementara kereta api yang membawa mereka mendekati bukit-bukit, tembakan artileri mulai kedengaran, tentara Jepang makin mendesak menuju Bandung. Pertempuran untuk mempertahankan kota itu benar-benar mimpi buruk, tak seorang pun yang memegang tampuk pimpinan  pada pihak Hindia Belanda yang dapat dihubungi. Orang-orang sipil Belanda dan Indo-Belanda lari terbirit-birit meninggalkan kota yang dijarah oleh orang-orang pribumi. Tak ada yang tahu siapa musuh, keadaan benar-benar kacau.

Indonezilla dan pasukannya mundur dengan jalan kaki. Jalan raya dan jalan-jalan kecil dari bukit-bukit ke dataran rendah diluar batavia merupakan pusat kekacauan antara penduduk sipil dengan pasukan kolonial Belanda. Kelompok Indonezilla berceceran. Ketika hendak memasuki kota, tinggal sepuluh dari dua puluh orang. Beberapa diantaranya terbunuh, ada yang tertinggal dan terpisah karena pertempuran yang mendadak dan ada pula yang ngeloyor mengadu nasib sendiri.

Jawa bukan wilayah inggris, dan mereka diperlakukan dengan tidak baik oleh Belanda. Mereka tidak mempunyai kewajiban tetap bertugas dan mati mempertahankan Batavia. Ketika itu dia dan pasukannya mempelajari sebuah peta dan memutuskan menuju barat, kepantai utara yang berpenduduk sangat padat, menuju Merak. Tapi Pasukan Jepang sudah menduduki setiap pelabuhan dan setiap desa nelayan, bendera matahari terbit telah dinaikkan dihalaman kantor pelabuhan. Cepat atau lambat, Jepang pasti akan menyapu wilayah mana pun, termasuk menyapu bersih orang-orang seperti Indonezilla, tentara gabungan yang tidak jelas asal-usulnya, dari kesatuan mana, bahkan angkatan perang negara mana. Mereka ibarat pasukan yang kocar-kacir yang terjebak diantara dua kekuatan, Jepang - Belanda. Dan mereka begitu ketakutan, kelelahan, kelaparan serta kehausan. Mereka hidup mencuri-curi, yang berlaku ketika itu adalah siapa yang kuat dialah yang akan tetap hidup, dan persetan dengan orang lain.

Kelompok Indonezilla mendekati suatu pelabuhan kecil di Merak. Orang-orang Jepang memiliki benteng disana tetapi mereka begitu laparnya hingga mereka menyelinap ke kota mencari makanan. Apa yang ditemukan kelompok itu lebih berharga. Sebuah kapal Uap dengan berat 7000 ton dari Rotterdam Lloyd Line, yang tadinya digunakan sebagai kapal batu bara. SS Kerapu, begitu nama kapal tersebut, sudah bertahun-tahun tidak berlayar, tapi semua peralatannya masih lengkap dan perwira mesin dari kelompok Indonezilla memperkirakan akan bisa menghidupkan kapal itu. Akhirnya, dengan ditolong kegelapan, mereka pun mulai menghidupkan mesin sesudah berhasil memanaskan ketel uap. Ketika itu, mereka benar-benar bedo'a.

Kapal itu pun berhasil lolos dari pelabuhan tanpa menimbulkan kecurigaan apa-apa. Pelayaran melalui kepulauan Hindia Belanda bukanlah piknik yang menyenangkan. Makanan kurang, demikian pula air. Tapi ketika itu - Maret 1942 - laut dikuasai bendera matahari terbit dan jika kapal uap itu terlihat oleh Jepang, pasti dikira dikuasai Jepang pula. Indonezilla berhasil melayarkan kapalnya begitu lama,  terputus dari siapa dan tempat mana pun

Sekitar seminggu kapal itu berlayar kearah utara, persediaan batu bara yang tipis memaksa mereka untuk mencari tempat bersandar dipantai timur Jambi, Nipah panjang. Indonezilla mengenal daerah itu dengan baik, bahkan tanpa kompas pun, ditengah gelap gulita dia mampu melayarkan kapal besar tanpa kandas ke muara yang diselimuti hutan bakau lebat. Tapi yang merisaukan mereka adalah patroli Angkatan Laut Jepang disekitar pulau Berhala yang berjarak tidak sampai 10 mil dari mulut muara. Dan yang tejadi pada tengah malam itu, tiba-tiba sebuah kapal destroyer berada tepat didepan hidung SS Kerapu, seolah-olah sedang menyiapkan pesta penyambutan malam tahun baru.

Destroyer itu menyalakan lampu morse nya, meminta SS Kerapu berhenti untuk diperiksa. Sudah pasti mereka curiga, rute yang diambil SS Kerapu tidak seharusnya menyusur muara pantai timur yang sepi jika hendak menuju Singapura. Bagi Indonezilla, berhenti sama artinya dengan mati konyol, dan beberapa menit berikutnya meriam-meriam lima inci kapal Jepang mulai memuntahkan proyektil. Dalam waktu singkat api berkobar di dek SS Kerapu, tapi tidak ada pilihan lain, dalam waktu lima menit sebelum tenggelam mereka harus bisa menabrakkan kapal mereka kelambung destroyer itu. Ditengah kepanikan luar biasa, SS Kerapu yang oleng disobek proyektil meriam, tetap melaju kencang untuk misi terakhir, kamikaze. 

Kurang dari tiga menit, SS Kerapu yang terluka parah berhasil mencium lambung destroyer yang sedang berusaha menghindar tapi terlambat. Baku hantam dua monster besi pun tak terelakkan, sementara sekoci indonezilla mendayung sekuat tenaga menuju muara yang gelap, orang-orang jepang melakukan upaya yang sia-sia menyelamatkan kapal mereka yang mulai terbakar dan setengah oleng. Indonezilla tidak ingat apakah kedua kapal itu akhirnya tenggelam, ketika tiba-tiba pukulan keras menghantam batok kepalanya sesaat mereka merapat dipinggir pantai.

"Kami menerima laporan dari intelijen, bahwa kapal yang menabrak kami kemarin, dinahkodai orang yang sama saat peledakan kilang di Plaju" Kolonel Toyoda memulai interogasi "ada yang ingin anda katakan, kapten?"
"Benar kolonel, sayalah orangnya" jawab Indonezilla masih setengah sadar
"Sembilan kepala anggota anda, sudah menggelinding saat eksekusi tadi pagi" lanjut Toyoda "giliran anda akan diselenggarakan dengan spesial dihadapan laksamana Yoshimura"
"hmm... kalau itu yang anda kehendaki, saya mohon jasad saya dikembalikan ke tanah kelahiran saya" balas Indonezilla pasrah
"Saya tidak bisa jamin, tapi yang perlu saya ketahui, berapa lama anda bertugas di angkatan laut? meloloskan diri dari patroli kapal kekaisaran Jepang adalah mukjizat, dan menenggelamkan destroyer dengan kapal rongsokan belum pernah terpikir di akademi militer kami"
"Saya bukan nahkoda berprestasi di Angkatan laut, hampir setiap anak yang dilahirkan ditepian sungai Batanghari adalah perenang dan pendayung berbakat, mungkin saya yang beruntung diantara mereka, kolonel"
"Hmm...Begitu ya? saya membawa telegram dari laksamana Yoshimura, bahwa sekiranya anda tidak jadi dipancung besok pagi, maukah anda dikirim ke armada pasifik, untuk mengawal konvoi logistik ke Guadalcanal?"
"Anda tidak becanda kolonel?" Indonezilla hampir tidak percaya dengan ucapan Toyoda
"Hahaha... kalau kami memenggal kepala anda sekarang, mungkin hanya akan mengotori karpet selebar satu meter, anda paham maksud saya kan?"
"Tapi mestinya saya sudah mati kan?"
"Tidak bung" ujar Toyoda "lain kali, barangkali..."
Kolonel Toyoda menuangkan secangkir teh yang masih beruap, sore itu pelaut sinting Indonezilla menghisap uap teh, seperti uap sorga, meskipun getir.
READ MORE » Takdir Nahkoda di Ujung Samurai